Souvenir Bintang Mahaputera

Kritik Cendikiawan Yudi Latif

Berita Utama, Ide83 Dilihat

SUASANA khidmat menyelimuti Istana Negara, Senin, 25 Agustus 2025.

Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan Tanda Kehormatan Republik Indonesia, termasuk Bintang Mahaputera, kepada puluhan tokoh dari berbagai bidang.

Sebanyak 88 tokoh menerima penghargaan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74/TK/2025, di antaranya Abdul Muhaimin Iskandar, Bahlil Lahadalia, Saifullah Yusuf, Andi Amran Sulaiman, Marty Natalegawa, hingga Retno Marsudi.

Selain itu, Presiden juga menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama, tingkatan tertinggi, kepada 34 tokoh nasional melalui Keppres Nomor 73/TK/2025.

Daftarnya mencakup nama-nama yang tak asing di telinga publik, mulai dari Hashim Djojohadikusumo, Agus Harimurti Yudhoyono, Abdul Mu’ti, Fadli Zon, Meutya Hafid, hingga Haji Isam, pengusaha asal Kalimantan yang dinilai berjasa di bidang ekonomi.

Immanuel Ebenezer Minta Maaf Hingga Berharap Amnesti ke Presiden Prabowo

Dalam sambutannya, Presiden menegaskan bahwa penghargaan ini adalah bentuk penghormatan negara terhadap jasa para tokoh.

“Bangsa ini berdiri kokoh karena pengabdian mereka. Bintang Mahaputera adalah pengingat bahwa negara tahu cara menghargai putra-putrinya,” ucap Prabowo.

Namun di tengah euforia penganugerahan itu, kritik pun muncul. Cendekiawan Yudi Latif menyoroti bergesernya makna Bintang Mahaputera.

Dalam esainya berjudul “Souvenir Bintang Mahaputra”, Yudi mengingatkan kembali sejarah penghargaan ini. Dahulu, bintang itu tersemat di dada para tokoh pejuang sejati seperti Jenderal Soedirman, Mohammad Natsir, hingga Ki Hajar Dewantara—figur yang jasanya nyata dalam mempertahankan republik, menyatukan bangsa, dan mendidik generasi.

“Di dada mereka, bintang itu tampak wajar, seakan hanya melanjutkan sinar pengabdian yang memang telah terpancar dari hidup mereka,” tulis Yudi.

Kini, lanjutnya, makna itu kerap bergeser. Bintang yang dulu menjadi simbol pengorbanan untuk republik, berubah menjadi sekadar “bros pesta politik”.

Ia lebih sering dipersepsikan sebagai hadiah loyalitas ketimbang penghargaan atas karya besar.

“Ironi pun menohok: baru diangkat jadi pejabat, belum sempat menorehkan karya berarti, sudah disematkan Bintang Mahaputera. Bintang yang dulu menyinari jalan bangsa kini dipakai untuk menyoroti panggung kekuasaan,” kritik Yudi Latif.

Dengan tajam ia menutup: “Rakyat pun tahu, meski tak selalu bersuara: bintang yang dulu abadi kini hanya sekadar lampu sorot sesaat, sekadar bros yang tersemat di dada, kehilangan kemilau aura sejatinya.”

Upacara di Istana Negara hari itu mencatat sejarah baru—di satu sisi, tanda kehormatan negara kembali diberikan kepada puluhan tokoh.

Namun di sisi lain, perdebatan soal makna dan legitimasi penghargaan itu kembali mengemuka: apakah ia masih benar-benar simbol pengabdian, atau sekadar souvenir politik?