Kabinet Pengkhayal dalam Kepompong Kekuasaan

Catatan Kritis Pemerintahan Prabowo Subianto

INDEPENDENews.com- Di tengah gejolak politik dan harapan rakyat terhadap perubahan, kabinet pemerintahan saat ini justru menampilkan sesuatu yang mengejutkan: ketertutupan, minim komunikasi, dan ledakan pernyataan-pernyataan absurd dari para pejabatnya.

Presiden seolah menjelma menjadi sosok yang jauh dan tak terjangkau oleh orang-orang yang seharusnya menjadi ujung tombak implementasi kebijakan.

Fenomena ini bukan sekadar cerita satu dua orang, tapi sudah menjadi rahasia umum yang tersebar dari para awak media hingga pejabat tingkat menengah.

Dalam sebuah diskusi serius bersama beberapa wartawan, terungkap bahwa presiden sekarang jarang sekali melakukan pertemuan langsung dengan menteri-menterinya.

Ia seperti hidup dalam kepompong kekuasaan yang sangat tertutup.

Hanya sedikit orang yang bisa berkomunikasi langsung dengannya, dan mereka pun terbelah oleh kepentingan masing-masing.

Di depan presiden mereka bisa tampil seolah solid, tapi di belakang saling menjegal, bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling berpengaruh.

Situasi ini menciptakan krisis komunikasi yang akut dalam sistem pemerintahan.

Di era Presiden Joko Widodo, menteri bisa mengajukan permintaan pertemuan langsung empat mata, terutama saat menghadapi persoalan mendesak.

Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang memberi ruang diskusi, bahkan ketika waktunya terbatas.

Kadang pertemuan dijadwalkan hanya setengah jam, tapi bisa berlarut hingga dua jam karena banyak hal yang dibahas.

Gaya manajemen semacam ini memberikan ketenangan dan kecepatan dalam menyelesaikan persoalan.

Sebaliknya, gaya kepemimpinan presiden saat ini cenderung otoriter dalam bentuk yang pasif: menjauhkan diri dari anak buah, menciptakan batas komunikasi yang tebal, serta memberikan kesan bahwa semua sudah diatur oleh lingkaran kecil di sekitarnya.

Para menteri pun kebingungan.

Banyak dari mereka tampak tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan, apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.

Tak jarang terlihat para pejabat yang lebih sering bermain opini daripada membuat kebijakan yang konkret.

Salah satu contoh yang paling mencolok adalah pernyataan Wakil Menteri Koperasi yang menyarankan agar Koperasi Merah Putih berinvestasi di bitcoin.

Usulan ini menunjukkan ketidaktahuan mendasar terhadap konsep koperasi itu sendiri.

Koperasi adalah entitas yang bergerak di sektor produksi dan kebutuhan riil masyarakat.

Mengaitkannya dengan investasi di dunia kripto yang fluktuatif dan penuh spekulasi adalah bentuk khayalan yang bisa membahayakan dana publik. Belum jalan koperasinya, belum jelas untung atau tidak, sudah bermimpi jadi investor besar di ranah yang tidak stabil.

Bayangkan, koperasi-koperasi yang didukung dengan dana sebesar 400 triliun rupiah diarahkan ke dunia bitcoin. Ini bukan sekadar ide buruk—ini bencana potensial.

Para pialang kripto tentu girang.

Mereka paham bahwa bisnis koperasi ini lemah tanpa sokongan negara.

Mereka hanya melihat peluang: jika rugi, negara yang menanggung. Jika untung, mereka yang menikmati.

Inilah wajah kapitalisme rente yang dibungkus jargon kemitraan.

Pernyataan tak kalah problematik juga datang dari Menteri Perlindungan Tenaga Kerja, Abdul Kadir Karding.

Ia menyebut pekerja migran sebagai solusi untuk pengangguran, seakan-akan ekspor tenaga kerja ke luar negeri adalah prestasi. Padahal, pengiriman tenaga kerja kasar dalam jumlah besar ke negara lain adalah tanda negara yang lemah.

Ini bukan jalan keluar jangka panjang.

Ini hanya tambalan sementara. Negara semestinya berinvestasi pada sumber daya manusianya sendiri agar mereka bekerja dan membangun di negeri sendiri.

Jika tenaga kerja terampil yang pergi, kita mengalami brain drain—kehilangan otak-otak terbaik.

Jika yang dikirim adalah tenaga kerja kasar, maka kita menyia-nyiakan potensi besar yang seharusnya bisa diberdayakan di dalam negeri.

Lalu siapa yang mengurus keluarga mereka?

Siapa yang mendidik anak-anak yang ditinggal pergi bertahun-tahun oleh orang tuanya?

Menteri-menteri dalam kabinet ini bukan hanya terlalu banyak jumlahnya, tapi juga menyisakan pertanyaan besar mengenai kompetensi mereka.

Terlalu banyak pernyataan tanpa dasar.

Terlalu banyak khayalan tanpa pijakan.

Para pejabat ini lebih sibuk menjual mimpi daripada bekerja nyata.

Dalam banyak kasus, mereka seolah lebih pantas menjadi influencer atau motivator daripada administrator negara.

Maka, pertanyaannya menggelitik: jika tenaga kerja ke luar negeri adalah solusi, mengapa bukan mereka saja yang dikirim?

Biarkan para menteri ini yang mencicipi susahnya bekerja di negeri orang. Barangkali dengan begitu mereka akan paham bahwa negara semestinya hadir untuk rakyat, bukan sekadar menjadi mesin pembuat ilusi.

Penutup

Kabinet ini, sayangnya, lebih banyak tampil sebagai parade khayalan. Dari mimpi bitcoin hingga glorifikasi ekspor buruh, kita disuguhi pemikiran-pemikiran yang tidak hanya dangkal, tapi juga berbahaya.

Dalam sistem politik yang sehat, pejabat semacam ini harusnya dievaluasi, bukan dipertahankan hanya karena loyalitas politik.

Kita butuh pemerintahan yang rasional, komunikatif, dan bertanggung jawab—bukan kumpulan pejabat yang hidup dalam ilusi dan jargon.(*)