INDEPENDENews.com, MAKASSAR – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Koordinator Wilayah VIII (Sulawesi), yang membina 12 Cabang di Sulawesi Barat, Selatan, dan Tenggara, mengeluarkan pernyataan sikap keras menanggapi kondisi bangsa yang terus diguncang ketidakadilan, kekerasan aparat, dan arogansi politik DPR.
Aksi demonstrasi yang dimulai sejak 25 Agustus 2025 sebagai bentuk protes atas tunjangan mewah DPR dan pernyataan kontroversial wakil rakyat, justru dijawab dengan pentungan dan gas air mata.
Insiden tewasnya pengemudi ojek online, Alm. Affan Kurniawan, setelah ditabrak kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025 menjadi simbol betapa Polri gagal total melindungi rakyat.
Korwil VIII GMKI
Koordinator Wilayah VIII GMKI, Muh. Vicky Ridho, kritik atas kinerja dari DPR RI.
“Kami muak melihat DPR menjual kebijakan, Presiden yang lamban merespons jeritan rakyat, dan Polri yang lebih sibuk menakut-nakuti rakyat daripada melindungi. Jika negara ini terus dijalankan dengan logika kekuasaan, bukan keadilan, maka jangan salahkan rakyat jika memilih melawan,” katanya.
Ia menutup dengan seruan keras.
“GMKI akan terus berdiri di garis depan. Kami tidak takut. Ini bukan sekadar sikap, tapi perlawanan moral. Kepada seluruh kader GMKI di Sulselbara, tetap tegak, jangan tunduk, dan jangan pernah berhenti mengawal keadilan. Negara ini milik rakyat, bukan milik DPR, bukan milik segelintir pejabat, apalagi milik aparat bersenjata,” katanya.
Pernyataan Sikap GMKI Wilayah VIII:
1. Presiden Prabowo Subianto jangan berlindung di balik institusi! Sebagai kepala negara, ia tidak boleh hanya diam menonton rakyat dipukuli aparat. Presiden wajib turun tangan memulihkan kondisi bangsa—jika tidak, rakyat akan menilai bahwa kepemimpinannya hanyalah topeng tanpa keberanian.
2. DPR RI bukan pasar gelap kebijakan! Kami menolak tegas kenaikan tunjangan atau pendapatan DPR yang mana disisi lain mencekik rakyat kecil. DPR yang seharusnya mengabdi malah berubah menjadi tukang dagang kepentingan. Jika DPR masih berpihak pada oligarki, maka keberadaannya adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.
3. Segera pecat Anggota DPR RI yang bermasalah dan tidak hanya berdalih dengan diksi non-aktif. Ucapan dan tindakan beberapa anggota DPR RI yang melecehkan rakyat adalah bukti nyata bahwa sebagian wakil rakyat sudah kehilangan empati dan akal sehat. Jika DPR tidak menindaknya, berarti DPR merestui pelecehan terhadap rakyat Indonesia.
4. Polri jangan jadi mesin kekerasan negara! Kami menuntut Kapolri Listyo Sigit bertanggung jawab atas setiap darah yang tumpah. Polisi bukan algojo yang memukul aspirasi rakyat dengan tameng dan peluru gas. Jika Polri terus represif, rakyat sendiri yang akan mengadili di jalanan.
Aturan Demonstrasi
Aturan mengenai demonstrasi (penyampaian pendapat di muka umum) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk melalui demonstrasi, dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap warga negara berhak menyuarakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab, dengan tetap menghormati hak orang lain serta menjaga ketertiban umum.
Dalam pelaksanaannya, demonstrasi masuk dalam kategori penyampaian pendapat di muka umum bersama dengan pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Penyelenggara wajib memberitahukan rencana kegiatan kepada kepolisian paling lambat tiga kali dua puluh empat jam sebelum pelaksanaan. Pemberitahuan itu harus memuat tujuan, lokasi, waktu, rute, jumlah peserta, serta penanggung jawab kegiatan.
Namun, tidak semua tempat dapat dijadikan lokasi unjuk rasa. Undang-undang melarang penyampaian pendapat di beberapa area seperti istana kepresidenan, tempat ibadah, rumah sakit, instalasi militer, fasilitas transportasi umum seperti bandara dan stasiun, objek vital nasional, serta pada hari besar nasional.
Peserta dan penyelenggara demonstrasi memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban, keamanan, serta menghormati hak-hak warga lainnya. Jika terjadi pelanggaran hukum, perusakan, atau tindakan anarkis, penyelenggara dapat dimintai pertanggungjawaban. Di sisi lain, aparat kepolisian berkewajiban melindungi peserta aksi agar kegiatan berlangsung tertib dan aman, namun mereka juga memiliki wewenang untuk membubarkan demonstrasi apabila melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.
Dengan demikian, undang-undang ini berfungsi sebagai landasan hukum agar kebebasan berpendapat dapat dijalankan secara tertib, damai, dan tetap dalam koridor hukum, sehingga aspirasi masyarakat dapat tersampaikan tanpa merugikan kepentingan publik maupun merusak fasilitas umum.
Ancaman Hukuman
Perusakan fasilitas umum, terutama dalam konteks demonstrasi, bukanlah tindak ringan. Hukum Indonesia mengatur secara tegas ancaman pidana bagi siapa pun yang terbukti melakukan perusakan, baik secara individu maupun berkelompok.
Dalam KUHP Pasal 406, perusakan barang milik orang lain dengan sengaja dan melawan hukum dapat dikenai hukuman penjara hingga dua tahun delapan bulan atau denda.
Namun, jika perusakan dilakukan dalam kerumunan atau secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP, ancamannya jauh lebih berat, yakni maksimal lima tahun enam bulan penjara.
Bahkan, apabila perusakan tersebut mengakibatkan luka berat, pelaku bisa dipidana sembilan tahun, dan bila menyebabkan kematian, hukumannya meningkat hingga dua belas tahun penjara.
Ancaman hukuman juga semakin berat jika perusakan dilakukan melalui pembakaran yang menimbulkan bahaya umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHP.
Pelaku dapat dijatuhi pidana hingga dua belas tahun, lima belas tahun jika mengakibatkan luka berat, dan maksimal hukuman seumur hidup atau dua puluh tahun penjara apabila mengakibatkan korban jiwa.
Selain KUHP, aturan khusus juga melindungi fasilitas yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.
Misalnya, UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengancam pelaku yang merusak sarana penanggulangan bencana dengan pidana penjara maksimal lima tahun dan/atau denda hingga Rp500 juta.
Dalam konteks demonstrasi, UU Nomor 9 Tahun 1998 menegaskan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat tidak boleh disalahgunakan.
Peserta aksi yang melakukan perusakan tetap dapat diproses sesuai hukum pidana yang berlaku.
Dengan demikian, siapa pun yang merusak fasilitas umum harus siap menghadapi konsekuensi hukum yang berat. Negara menegaskan sikap tegasnya agar hak kebebasan berpendapat tidak berubah menjadi tindakan anarkis yang merugikan masyarakat luas.(*)
- Polri dan Komdigi Blokir 592 Akun Medsos Penyebar Provokasi Anarkis - 4 September 2025
- Polda Sulsel Tetapkan 11 Tersangka Kerusuhan dan Pembakaran Gedung DPRD - 3 September 2025
- GMKI: DPR Jadi Tukang Dagang, Presiden Lamban, Polri Takut-takuti Rakyat - 3 September 2025